Tingke
Setiap daerah di Indonesia memiliki budaya dan adat kebiasaan sendiri-sendiri dalam melindungi anak-anak dari gangguan mahluk mahluk gaib. Seperti halnya dengan adat dan kebiasaan masyarakat Muna di Suawesi Tenggara.
Bagi masyarakat Muna, seorang anak dianggap sebagai generasi penerus keluarga dan masyarakat banyak. Olehnya itu, sejak dari dalam kandungan, sampai lahir dan berkembang menuju kedewasaan, seorang anak harus dijaga dan dierlakukan khusus dan diberi pakaian-pakaian khusus serta ritual-ritual khusus pula untuk menjaga sianak dari gangguan mahluk-mahluk gaib yang sering mengganggu perkemabangan sianak baik secara fisif maupun phsikis. Dengan pakaian dan ritual tersebut diharapkan selaian terhindar dari gangguan mahluk gaib yang tidak kasat mata, juga diharapkan denga pakaian yang dikenakan serta ritual- ritual itu, mendapatkan kemuliaan bila dewasa kelak.
Dari sekian banyak ritual dan pakaian yang dikenakan pada seorang anak dikalangan masyarakat muna itu, dintarnya adalah Tingke dan SALAWI. TINGKE, adalah alat penutup kelamin perempuan. Benda ini berbentuk hati atau daun dan bermotif bunga. Biasanya digunakan oleh anak bangsawan muna, dengan bahan dari emas atau perak. TINGKE mulai dipakaikan saat anak perempuan bisa berdiri, yaitu di kisaran 1 tahun dan dilepas pada usia kurang lebih 4 tahun. Saat pemasangan tingke, biasanya dengan ritual adat dan doa agar si pemakai kelak terjaga kehormatannya. Pemasangannya adalah diikat dengan benang di area pinggang dan posisi TINGKE tepat menutup alat kelamin si pemakai.
Sedangkan SALAWI adalah alat perhiasan anak perempuan yang terbuat dari emas/perak atau kuningan berbentuk lingkaran tipis yang dipakaikan di dada dan punggung anak, yang diikatkan dengan benang merah. Pemakaian SALAWI juga diawali dengan prosesi ritual adat dan doa utk kehormatan dan keselamatan si pemakai. SALAWI, biasanya dipakai bersamaan dengan TINGKE.
Masyarakat Luwu di Sulawesi Selatan juga ternyata memakai Salawi, namun kalau di kalangan masyarakat Luwu, Salawesi Selatan dikenal dengan nama SAMBANG. Adanya kesamaan budaya antara Muna dengan Luwu ini mengkonfirmasi dan mengafirmasi hubungan kekerabatan antara dia etnik tersebut.
Catatan lisan masyarakat Muna dikisahkan bahwa permaisuri La Eli, Raja Muna I bernama Wa Tandi Abe yang berasal dari Luwu. Kedatangan Wa Tandi Abe di Muna dengan menumpang sebuah talam besar yang dalam masyarakat Muna di kenal dengan nama Palangga. Oleh karena peristiwa kedatangannya tersebut, masyarakat Muna member gelar “ SANGKE PALANGGA “. Salah seorang anak pasangan La Eli, Raja Muna I dengan Wa Tandi Abe yang bernama Runtu Wulao kembali ke negeri leluhurnya Luwu dan menjadi raja di sana.
Kisah sejarah di kalangan masyarakat Muna itu, memiliki kesamaan dengan sejarah di kalangan masyarakat Luwu, dimana We Tendri Abeng, ( nama ini memiliki kemiripan dengan Wa Tandi Abe Permaisuri La Eli Raja Muna I ) saudara kembar Saweri Gading, di kisahkan menikah dengan Ri Manri Langiq ( ada kemungkinan La Eli, Raja Muna I ). Salah seorang anak Wa Tanri Abeng yang bernama Simpuru Siang ( ada kemungkinan Runtu Wulao anak Wa Tandi Abe dengan La Eli ) kembali ke Luwu dan menjadi Raja Luwu III.
Baca juga :
- 9 Destinasi Wisata Pantai Dan Danau di Kabupaten Muna
- DRS.H. LA ODE KAIMUDDIN : REINGKARNASI PERTAMA LA KILAPONTO
- Nelayan, Terimakasih atas Jasamu
- Kota Wuna, yang jauh lebih besar daripada Kota Wolio
- Seuntai Harapan dari Pasi Kolaga
- KAAGO-AGO
- Februari 3, 2011
- Kutika Hal Yang Tujuh
- Juli 30, 2019
PASUKAN BERKUDA KERAJAAN MUNA